top of page
Search

Permasalahan Sensor

  • Komunikasi Massa D 4
  • Mar 17, 2019
  • 3 min read


Persaingan industri film yang begitu ketat mengantarkan pada banyaknya jalan yang ditempuh oleh banyak perusahaan perfilman untuk menciptakan film yang bagus agar menarik sebanyak-banyaknya peminat untuk menyaksikan film tersebut. Tidak jarang lapisan budaya pun ditembus oleh para industri film dengan mengabaikan budaya-budaya yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat dalam suatu negara ataupun regional tertentu. Indonesia sendiri menghadapi proses yang sangat panjang dalam menempuh kebijakan sensor yang ada. Berikut ini adalah proses sensorship yang ada di Indonesia :


MASA PERANG KEMERDEKAAN (1945 – 1949)

Meskipun bangsa Indonesia masih disibukkan dengan suasana perang kemerdekaan, insan perfilman Indonesia berusaha untuk membangun dunia perfilman. Dalam rangka membangun dunia perfilman, para insan perfilman berusaha untuk membangun fondasi yang kokoh agar dunia perfilman Indonesia nantinya dapat berkembang sebagaimana mestinya. Dasar yang kokoh itu terdiri atas dua hal yaitu kebijakan pemerintah di bidang perfilman dan pembentukan lembaga sensor


MASA SURVIVAL (1950 – 1959)

Pada masa survival ini yang bertanggung jawab dalam hal penyensoran film adalah Panitia Pengawas Film (PPF). Dalam menjalankan tugasnya, PPF sejak tanggal 4 April 1950 mengeluarkan Dasar-dasar Pedoman Sensor Film. Dalam aturan itu, kriteria sensor film meliputi unsur-unsur sebagai berikut: tidak melanggar kesusilaan, tidak mengganggu ketentraman umum, cukup pantas dan atau tidak memberi pengaruh buruk kepada masyarakat. PPF mempunyai 30 orang anggota. Mereka direkrut dari berbagai kalangan dengan tujuan dapat mewakili semua golongan dalam masyarakat Indonesia. Dalam mekanisme kerjanya, untuk menyensor sebuah film dibentuklah Panitia Kecil yang terdiri atas tiga orang. Personil panitia kecil itu dipilih oleh Pengurus Harian PPF. Pemilihan anggota Panitia Kecil, didasarkan atas dasar film yang akan disensor. Sebagai contoh, untuk film yang berkaitan dengan militer maka wakil dari militerlah yang dipilih untuk duduk dalam Panitia Kecil PPF. Begitu juga, bila film yang akan disensor berkaitan dengan kepolisian, maka yang akan dipilih menjadi anggota Panitia Kecil PPF berasal dari kepolisian.


MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959 – 1967)

Pada masa demokrasi terpimpin, posisi film bukan lagi sekadar alat hiburan semata, tetapi menjadi alat kepentingan politik. Rekayasa dan kepentingan politik dalam dunia perfilman semakin kuat ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin menancapkan politiknya. Bahwa kepentingan politik berdampak terhadap film, terlihat jelas ketika Warta Bhakti, surat kabar pro-PKI pada tanggal 24 Agustus 1964 menulis bahwa aksi boikot film Amerika terjadi karena sikap Amerika yang menempatkan armada ke-7 nya di sekitar perairan Indonesia dan selain itu juga Amerika sengaja membantu Malaysia dalam konfrontasinya dengan Indonesia Sikap yang memasukkan strategi dan kepentingan politik dalam dunia film berakibat menumpulkan kreativitas yang ada, apalagi lembaga sensor film yang ada masih ragu-ragu menetapkan keputusannya karena sangat bergantung dari kepentingan partai politik yang berkuasa dan menempatkan orang-orangnya di lembaga ini.


MASA ORDE BARU (1967 – 1998)

Orde Baru membentuk Badan Sensor Film (BSF) yang beranggotakan 33 orang. Mereka terdiri atas 24 orang mewakili pemerintah dan 9 orang mewakili partai politik. Kementrian Informasi serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mendominasi keanggotaan dengan masing-masing 10 orang anggota. Pada perkembangannya, jumlah keanggotaan BSF itu mengalami pengurangan, yaitu dengan dikuranginya unsur yang mewakili pemerintah, ketika Boediardjo menjabat sebagai menteri penerangan. Hal itu pun terus berlangsung, pada tahun 1971, seiring dengan susutnya peran partai politik, keanggotaan BSF dari unsur partai politik pun dihapuskan. Pada tahun 1973-1974 jumlah anggota BSF menjadi 20 orang. Mereka terdiri atas unsur-unsur pemerintah dan nonpemerintah. Dari unsur pemerintah berasal dari Departemen Penerangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, serta Kejaksaan Agung.


MASA REFORMASI (1998 – 2009)

Setelah rezim Orde Baru runtuh, bermunculan kekuatan-kekuatan baru yang mengambilalih kuasa yang pernah dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang represif, termasuk oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Dari berbagai kasus sensor yang dilakukan oleh LSF menunjukkan bahwa penyensoran untuk film-film bertema politik masih tajam sedangkan untuk masalah moralitas terkesan mendua. Hal yang demikian itu mungkin disebabkan oleh berbagai perubahan situasi, baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Sebagai contoh, adegan homoseksual dalam film Arisan (2005) boleh ditampilkan di layar, tetapi adegan lesbian tidak dapat ditampilkan dalam film Berbagi Suami (2006).


Di dalam sejarah perfilman nasional, kisruh yang terjadi antara dunia perfilman dengan masyarakat serta penguasa disebabkan oleh tiga masalah. Pertama, seni untuk seni. Dengan prinsip ini para pencipta film hanya mengukur pada dirinya sendiri sehingga lahirlah film-film yang isinya merupakan manifestasi pikiran, perasaan, terkadang nafsu mereka pribadi tanpa mau memperdulikan nilai-nilai dan norma di masyarakat. Kedua, seni untuk uang. Motif ekonomi ini hanya memikirkan keuntungan semata, untuk meraih untung yang besar maka diproduksilah film-film yang sensasional, berbau seksual, penuh kekerasan, dan kekejaman. Ketiga, kontrol politik (sensor). Pada sisi ini berbagai motif politik berusaha dicangkokkan ke dalam film. Sebuah karya seni yang adiluhung tidak akan pernah melukai siapa pun, apa pun etnis dan agamanya. Sebuah film sebagai karya seni akan memancarkan keindahan dan kebenaran



 
 
 

Recent Posts

See All
Review "Literasi Digital"

Pengertian Literasi Digital Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai...

 
 
 
Review "Media Sosial"

Pengertian Media Sosial Media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi,...

 
 
 

Comentarios


Post: Blog2_Post

Follow

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2019 by FILM. Proudly created with Wix.com

bottom of page